Minggu, 22 Oktober 2017

Pengelolaan Kesehatan Tanaman Teh terhadap Serangan Hama Ulat Jengkal (Hyposidra Talaca)

Kingdom                                 : Plantae
Divisi                                       : Spermatophyta
Sub divisi                                : Angiospermae
Kelas                                      : Dicotiledonae
Ordo                                        : Parietales
Family                                    : Theaceae
Genus                                      : Camellia
Nama Latin atau Spesies         : Camellia sinensis
Tanaman teh (Camelia sinensis (L) O. Kuntze) memiliki peranan penting dalam kehidupan dan penghidupan masyarakat secara makro. Disamping itu tanaman teh juga memiliki peranan yang penting sebagai penyumbang devisa negara, sebagai sumber lapangan kerja, sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan menjaga kelestarian lingkungan. Mengingat pentingnya peran tanaman teh dalam aspek sosial dan aspek ekonomi Indonesia, maka perkebunan teh perlu dijaga agar tetap berkelanjutan (sustainable), salah satunya dengan menjaga dari kerusakan yang ditimbulkan oleh serangga (Diratpahgar 2008).
Teknik budidaya serta proses pengolahan yang tepat merupakan salah satu syarat untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas komoditas teh. Pemupukan secara teratur, pemangkasan yang baik, peremajaan tanaman-tanaman teh yang telah berumur lebih dari 40 tahun, serta pengendalian hama dan penyakit dapat mendorong produktivitas teh yang tinggi (Adisewojo 1982).
Usaha peningkatan teknik budidaya, selalu terkait dengan sistem pengendalian atau pengelolaan hama dan penyakit. Proses pengelolaan hama dan penyakit ini berpengaruh penting dalam penentuan mutu dari produksi tanaman teh. Budidaya tanaman teh tidak lepas dari permasalahan hama dan penyakit. Beberapa hama dan penyakit penting yang biasa menyerang tanaman teh dan kerap menimbulkan kerugian yang cukup besar antara lain Empoasca sp. (Hemiptera: Jassidae), Helopeltis spp. (Hemiptera: Miridae), dan Hyposidra talaca (Lepidoptera: Geometridae) (Samiyanto 1999). Sedangkan penyakit yang biasa ditemukan dilapangan antara lain cacar daun teh (blister blight) yang disebabkan patogen Exobasidium vexans, serta beberapa penyakit pada akar seperti akar merah Ganoderma philippii dan akar putih Rigidophorus lignosus.
Pengendalian Hama di Perkebunan
Hama-hama penting yang sering menjadi masalah di perkebunan Gunung Mas ini antara lain: Helopeltis spp., Empoasca sp., dan Hyposidra talaca. Selain hama ada pula penyakit yang umum menyerang tanaman teh yaitu cacar daun teh (blister blight) yang disebabkan oleh patogen Exobasidium vexans.
Ulat jengkal menjadi hama yang sangat penting di perkebunan Gunung Mas, serangan berat dari hama ini dapat menurunkan hasil produksi hingga 40%. Hama ini menyerang daun, pupus daun, dan tunas daun teh. Serangan berat dapat menyebabkan daun menjadi berlubang dan pucuk tanaman menjadi gundul, sehingga hanya meninggalkan tulang daun saja. Hyposidra talaca juga bersifat polifag pada beberapa jenis tanaman. Hama ulat jengkal Hyposidra talaca biasa ditemukan di dataran tinggi (Simanjuntak 2002). Menurut Hidayat (2001) Larva yang baru menetas dari telur akan memencar dari pohon pelindung menuju perdu teh dengan bantuan angin atau merayap. Larva yang baru keluar dari telur berukuran antara 1.5 – 2 mm, sedangkan larva instar akhir dapat mencapai panjang 70 – 80 mm. Larva Hyposidra talaca berwarna coklat kehitaman dengan titik-titik putih pada bagian dorsal. Pada stadium larva hama ini dapat menyerang dan mengakibatkan kerusakan pada pucuk teh (Kartasapoetra 1993).
Serangan tertinggi hama ulat jengkal di perkebunan teh Gunung Mas biasa terjadi pada musim kemarau atau pada musim peralihan antara musim hujan ke musim kemarau, atau berkisar antara bulan Juni hingga November. Pada saat musim penghujan serangan hama ulat jengkal menurun hingga musim peralihan selanjutnya. Parangin-angin (1992) menjelaskan bahwa perkembangan hama ini akan terhambat pada habitat dengan curah hujan tinggi, karena larva akan jatuh dan terbawa air hujan. Perkebunan Gunung Mas menggunakan berbagai macam cara pengendalian untuk mengatasi hama ini, antara lain: dengan cara fisik mekanik yaitu dengan mengumpulkan secara manual pupa-pupa dari hama ini dari dalam tanah, menangkap imago dari Hyposidra talaca dengan jaring dan perangkap lampu pada malam hari, membungkus pohon-pohon pelindung dengan plastik berperekat untuk memerangkap imago dan memasang perangkap berperekat di setiap blok kebun.
Perkebunan Gunung Mas menggunakan berbagai macam cara pengendalian untuk mengatasi hama ini, antara lain: dengan cara fisik mekanik yaitu dengan mengumpulkan secara manual pupa-pupa dari hama ini dari dalam tanah, menangkap imago dari Hyposidra talaca dengan jaring dan perangkap lampu pada malam hari, membungkus pohon-pohon pelindung dengan plastik berperekat untuk memerangkap imago dan memasang perangkap berperekat di setiap blok kebun. Selain dengan cara fisik mekanik, pengendalian secara kimiawi juga dilakukan dengan menggunakan insektisida berbahan aktif metomil dengan dosis 0.5 – 1 lt/ha, bahan aktif sipermetrin dengan dosis 0.5 – 1 lt/ha, serta menggunakan insektisida nabati umbi gadung dan EM4 yang dicampur dengan insektisida sintetik dengan dosis rendah.

DAFTAR PUSTAKA

Pradana, Rizki. 2013. Pengelolaan Kebun dan Upaya Pengendalian Hama Ulat Jengkal (Hyposidra talaca) dengan Aplikasi Hyposidra talaca Nucleopolihedrovirus pada Tanaman Teh di PT Perkebunan Nusantara VIII Gunung Mas Bogor Jawa Barat. Departemen Proteksi Tanaman IPB. Bandung.

Rabu, 04 Oktober 2017

Penerapan Inovasi Teknologi Feromon Seks untuk Pengendalian Hama Spodoptera  exigua  pada Bawang Merah
Ulat  bawang Spodoptera  exigua  adalah  hama  utama  yang  menyerang  tanaman bawang  merah  di  Indonesia.  Salah  satu  cara pengendalian yang umum dilakukan oleh petani untuk mengatasi serangan hama tersebut adalah dengan  insektisida.  Menurut  Koster  (1990), berbagai jenis insektisida digunakan oleh petani untuk mengendalikan hama bawang merah, baik secara tunggal maupun campuran, serta dengan dosis yang tinggi maupun  interval penyemprotan yang  singkat  (2-3  kali  per  minggu).  Menurut Dover  dan  Croft  (1984 dalam Setyobudi et al. 1995)  dan  Brown  (1958)  penggunaan insektisida yang tidak rasional, seperti frekuensi penyemprotan  yang  sering,  pemakaian  dosis semakin  tinggi,  dan  pencampuran  lebih  dari  2 jenis  insektisida  dengan  tidak  memperhatikan kompatibilitasnya, akan mempercepat terjadinya resistensi hama terhadap insektisida. Di  Indonesia  kasus  resistensi  ulat  bawang terhadap  insektisida  pada  dosis  rekomendasi belum  banyak  dilaporkan,  namun  diduga  hal tersebut telah terjadi.
Masalah utama dalam budi daya bawang merah adalah hama ulat bawang (Spodoptera exigua). Hama ini merupakan hama utama di sentra produksi bawang merah. Hasil pengkajian Thamrin et al. (2003) di Sulawesi Selatan menunjukkan, S. exigua merupakan hama dominan pada pertanaman bawang merah. Selanjutnya, Moekasan et al. (2005) melaporkan, kehilangan hasil panen akibat serangan ulat bawang dapat mencapai 100% jika tidak dilakukan upaya pengendalian karena hama ini bersifat polifag. Ngengat betina meletakkan telur secara berkelompok pada daun bawang atau gulma yang tumbuh di sekitarnya. Dalam waktu 2−3 hari, telur akan menetas dan ulat masuk ke dalam daun bawang untuk hidup dan berkembang (Samudra 2006). Perkembangan dan proses reproduksi S. exigua dipengaruhi oleh juvenile hormon (JH), terutama dalam proses fisiologi (Kim et al. 2008). Petani biasanya mengendalikan S. exigua dengan menyemprotkan insektisida kimiawi dosis tinggi. Penyemprotan dilakukan dua hari sekali agar tanaman aman dari serangan ulat bawang. Penggunaan insektisida yang intensif dapat menyebabkan hama menjadi resisten terhadap insektisida yang digunakan (Meidiawarman 1992; Negara 2003). Moekasan dan Basuki (2007) melaporkan, ulat bawang asal Kecamatan Gebang dan Losari Kabupaten Cirebon terindikasi resisten terhadap insektisida spinosad, klorpirifos, triazofos, betasiflutrin, siromazin, karbosulfan, tiodikab, dan abamektin. Sementara itu, Morin (1999) menyatakan, penggunaan pestisida untuk mengendalikan hama dapat mengurangi keragaman sehingga menyebabkan peledakan hama. Selain meningkatkan biaya pengendalian, penggunaan pestisida secara berlebihan berdampak kurang baik terhadap lingkungan, serta menimbulkan residu yang berlebih pada produk sehingga mengganggu kesehatan. Oleh karena itu, perlu ada terobosan teknologi dalam pengendalian hama ulat bawang. Makalah ini mengulas prospek pengendalian ulat bawang dengan menggunakan feromon seks.
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian (BB Biogen) telah mengembangkan inovasi teknologi feromon seks untuk mengendalikan hama ulat bawang. Penelitian feromon seks dilakukan secara bertahap mulai dari skala laboratorium sampai skala lapang dan uji coba di beberapa lokasi. Pengkajian pemanfaatan feromon seks untuk mengendalikan ulat bawang merah dilakukan di lima lokasi, yaitu Cirebon, Brebes, Nganjuk, Bali, dan Samosir. Secara rinci, teknologi yang diterapkan dalam pengkajian Feromon sebagai penarik serangga jantan dewasa dipasang pada alat perangkap berupa stoples plastik yang dirancang khusus . Cara pengendalian ini lebih efektif, efisien, murah, dan ramah lingkungan dibandingkan dengan pengendalian menggunakan insektisida. Feromon seks mulai diaplikasikan saat tanaman berumur 3 hari setelah tanam. Feromon diletakkan pada perangkap dengan digantungkan di dalam stoples yang bagian bawahnya diisi air sabun. Perangkap berferomon ditempatkan pada pinggiran pertanaman bawang pada ketinggian 30 cm di atas permukaan tanah dengan jarak masing-masing perangkap 15 m. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa hasil bawang merah dengan menggunakan feromon seks lebih tinggi dibandingkan dengan cara petani. Hasil bawang merah di lima lokasi bervariasi, bergantung pada lokasi dan teknik budi daya yang diterapkan. Hasil tertinggi diperoleh di Brebes (18−19 t/ha) dan Cirebon (19 t/ha). Hal ini karena kedua kabupaten tersebut merupakan sentra bawang merah sehingga teknik budi daya yang diterapkan tergolong intensif dengan pengaturan pola tanam yang sesuai. Varietas bawang merah yang ditanam di tiap lokasi berbeda sesuai dengan kondisi wilayah setempat (spesifik lokasi).
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Penerapan inovasi teknologi feromon seks pada pertanaman bawang merah dapat mengurangi penggunaan insektisida. Pengendalian ulat bawang menggunakan feromon seks lebih efisien, murah, dan ramah lingkungan serta meningkatkan pendapatan petani Feromon seks mempunyai peluang untuk dikembangkan di sentra produksi bawang merah, terutama di wilayah endemis serangan hama ulat bawang.

PUSTAKA :

Jurnal Litbang Pertanian Vol. 23 No.3 Tahun 2009http://agrotek.upnjatim.ac.id/